Senin, 21 September 2009

Kepercayaan Baduy

Suku Baduy sekalipun menurut cerita rakyat berasal dari keturunan Pajajaran namun agamanya bukan agama Budha ataupun Hindu tetapi ini dimungkinkan adanya pengaruh dari ajaran agama Islam , sehingga suku baduy percaya dan yakin adanya sang pencipta dengan sebutan mereka Batara Tunggal yang tidak bias dilihat dengan mata hanya bisa diraba dewngan keyakinan pada hati sanubari serta menurut keyakinan mereka Batara Tunggal itu maha tahu dan semua yang ada dijagat raya ini adalah mahluknya dan miliknya segala sesuatu yang terjadi adalah kehendaknya.
Apabila manusia telah sampai pada ajalnya maka menurut kepercayaan mereka rohnya akan kembali kepada saang pencipta yakni Batara Tunnggal. Kemudian disampinng percaya adanya Batara Tunggal , suku Baduy juga percaya bahwa untuk mengayomi dan menjaga terhadap ciptaan sang Batara Tunggal yaitu adanya kekuatan gaib dari Karuhun-karuhun ( Paradalem ) seperti diantaranya ; dihulu sungai ,didlam Goa, dipuncak Gunung, dihutan lebat, dikayu besar, di telaga dan tempat-tempat lain yang dianggap angker, itu semuanya dianggap ada kekuaatan Gaib dan ditempat-tempat itu adanya Leluhur ( Paradalem . oleh suku Baduy ada suatu tempat yang sangat di keramatkan bahkan dianggap tempat berkiblatnya suku Baduy yakni yang disebut Panembahan Arca Domas atau Sasaka Domas, karena menurut cerita di tempat itu mula-mula para Leluhurnya berkumpul dan disebut Lembur Singkur Mandala Singkah, kemudian mereka masuk kedalam Goa tersebut yang terletak di Hulu sungai Ciujung dan hulu sungai Cisimeut sebelah Selatan kampung Cikeusik. Tempat ini disamping dikeramatkan juga dirahasiakan dan sangat terlarang jangankan orang luar masyarakat Baduynya sendiri juga hanya 1 tahun sekali serta yang bisa ikut ketempat itu hanya orang-orang tertentu terdiri dari : Tokoh-tokoh adat yang dipimpin oleh Puun Cikeusik dengan Jumlahnya sebanyak 8 ( delapan ) orang.
Jadi aliran kepercayaan suku baduy menurut pengakuaan mereka adalah Sunda Wiwitan , adapun tentang pelaksanaan upacara-upacara adat keputusannya di atur oleh Puun Cikeusik sehingga semua warga Baduy senada seirama dan serempak dalam melaksanakan upacara tersebut.

Rabu, 16 September 2009

UPACARA ADAT KAWALU MITEMBEYAN

UPACARA ADAT KAWALU MITEMBEYAN
Kawalu Mitembeyan ( Kawalu Pertama ) dilakukan pada waktu dimulainya mipit padi ( mengetam padi/panen pertanama ) dengan istilahnya adalah menjemput Dewi Sri,dengan dipimpin oleh Girang Serat, dan diikuti oleh tokoh adat yang lainnya dan beberapa orang warga , setelah mengucapkan Mantra sambil menyimpan Sajen ( air putih, dll ) Maka Girang Serat memipit/ mengetam padi sebanyak duaa Genggaman, kemudian diikat dan dibawa dengan cara digendong melambangkan seolah-olah membawa sepasang pengantin kemudian dibawa ke balai adat disimpan ditengah-tengah Ancak ( Nampan/ Tampah ) yang telah dikelilingi oleh sesajen selanjutnya dikukusi dengan asap kemenyan dan upacara Mantra. Dilanjutkan dengan acara selamatan / syukuran tanda penjemputan Dewi Sri . upacara adat ini melambangkan juga sebagai isarat kepada semua warga Baduy untuk serempak mulai mengetam padi diladangnya masing-masing.
Disini sangatlah Nampak wajah ceria dan kegembiraan Suku baaduy pada waktu memanen hasil ladangnya. Padi yang sudah dipanen diikat dan di simpan di Lantayan ( tempat penyimpanan Sementara ) di lading terbuka ditutup oleh atap Kiray ( sejenis Nyiur ) sepanjang bambu tersebut selama 1 bulan sampai kering.

Selasa, 15 September 2009

UPACARA ADAT MANTUN

UPACARA ADAT MANTUN
Pada wakktu padi diladang mulai berubah menjadi buah ( Celetu ) maka disetiap kaampung diadakan upacara adat Mantun yang dlakukan oleh Kokolot Lembur ( Tokoh Masyarakat ) dengan memainkan alat Pantun ( Kecapi ) dan Rendo ( sejenis alat music yang dimainkannya di gesek ) sambio membawa cerita dalam bentuk yang dinyanyikan dengan nada Marenggo, dengan harapan untuk mendapatkan berrkah dan padinya selamat dari ggangguan hama padi sehingga hasil panen padinya banyak, penuturan kata-kata pantunnya antara lain :
“Jauh dijugjug mapay-mapay jurang malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, nyamuni ditempat suni, jauh teu puguh nu dijugjug, katempat anggang teu puguh nu rek diteang, ngajauhan lara heung wiring tina perang, panasna sarengenge, tiisna ciibun, nambahan geterna hate sumarabah kana bayah, kasurung kuniat anu geus nekad, ngalangkang kalangkang katukang jadi angan-anganjeung datangna harepan jeung kayakinan tinu ngatur sakabeh alam anu ngusikeun anu malikeun “
Atinya: berjalan jauh tak menentu tujuan, melewati tebing melintasi jurang yang terjal,berlindung ditempat yang sunyi dibalik gunung, menjauhi rasa malu dari kekalahaan perang, panasnya matahari, dinginnya embun pagi, menambah semangaat dan tekad , terbayang-bayang bayangan yang telah silam, yang telah jadi angan-angan dan dengan datangnya suaatu harapan serta keyakinan dari yang memiliki Alam semesta yang berhak ataas segalanya.
Pada dasrnya pantun yang diucapkan pada acara tersebut merupakan amanat Pusaka untuk diresapi serta ditaati sekalipun tidak tersurat namun tersirat dan harus diingat secara turun temurun sehingga tidak tergoyah oleh keadaan dan situasi sekalipun di dunia ini sudah penuh denga kemajuan modernisasi.
Bagi suku Baduy yang berladang diluuar kawasan Baduy, juga ikut serta mengadakan upacara-upacara adat Mantun, adapun pembawa acara aadaatnya/ yang melaakukannya memanggil dari kaampung asalnya.

Senin, 14 September 2009

UPACARA ADAT ZIARAH KE ARCA DOMAS.

UPACARA ADAT ZIARAH KE ARCA DOMAS.
Setelah Tim pembersihan selesai melakukan oprasinya di setiap kampung maka melapor kepada Puun Cikeusik bahwa semua kampung sudah dinyatakan bersih dari hal-hal yang dilaarang oleh adat kemuadian Tim tersebut harus menginap di tempat Puun. Ditengah malam pada waktu ayam jantan berkokok yang pertama sekitar jam 02.00 wib malam dipimpin oleh Puun Cikeusik bersama-sama tokoh adat tadi sejumlah 8 orang dengan membawa lampu/Obor yaitu dibuat dari pohon Kaso ( sejenis Tebu Hutan ) berangkat sambil berpuasa ke Goa Arca Domas, untuk berziarah.
Hal ini sangat dirahasiakan dengan melalui Hutan yang lebat tanpa ada bekas jalan manusia melalui tebing yang terjal dalam keadaan kegelapan malam . sesampainya di kawasan Arca Domas semua robongan membersihkan diri di batu Lumping yakni Batu besar yang membentuk sumur dan berair kemudian duduk bersimpuh dihadapan Goa Arca Domas, Puun Cikeusik sambil membakar kemenyan dan mengucapkan mantra-mantra yang maksudnya atas nama semua warga Baduy untuk mohon maaf , mohon berkah selamat, mohon perlindungan dan memohon pada musim tanam padi tahun yang sedang digarap diberikan selamat dan hasilnya melimpah ruah, setelah selesai maka Puun mengambilo tanah dan lumut pada yang ada di batu yang dianggap keramat kemudian setelah selesai beristirahat di saung Talahap ( Gubug sementara yang hanya pakai daun-daunan ), setelah beristirahat mereka kembali dan ke kampung Cikeusik masih malam mendekati subuh sehingga tidak ada yang mengetahuinya.

Minggu, 13 September 2009

UPACARA ADAT BEBERSIH LEMBUR

UPACARA ADAT BEBERSIH LEMBUR
Atas perintah Kepala Adat ( Puun ) Girang Serat, Jaro Tangtu, Baresan 9,Jaro Tanggungan12, Jaro 7, dan beberapa orang tokoh adat untuk turun kesetiap kampung mengadakan pembersihan di tiap-tiap kampung dari hal-hal atau adanya alat-alaat/barang-barang yang dilarang oleh adat. Maka tim pembersihan memasuki kesetiap kampung apabila menemukan sesuatu yang dilarang oleh hukum adat seperti : gelas, piring, yang terbuat dari bahan gelas/kramik, lampu petromak, radio, radio kaset, Televisi, Tempat tidur, pakaian yang berwarna kecuali warna Hitam, Putih, maka semuanya akan dihancurkan dan pemiliknya akan dikenakan sangsi hukum adat sesuai dengan pelanggarannya contohnya: ada yang dipekerjakan dijalan, ada yang harus minta pengampunan dari Puun dengan membawa kain putih, sirih sepenginangan dan wang Panajem.

Sabtu, 12 September 2009

UPACARA ADAT SEREN TAHUN

Diawali dengan adanya musyyawarah/pertemuan antara para tokoh adat dari Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana serta utusan dari Baduy Panamping yang bertemoat di Cikeusik dan dipimpin Puun Cikeusik. Adapun yang hadir pada musyawarah tersebut adalah: Girang Serat, Baresan 9, Jaro Tujuh, jaro Tangtu dan Jaro Tanggungan 12 juga Jaro Dangka dengan maksud :
a. Menentukan lokasi untuk pembuatan Ladang ( Huma ) Serang di 3 tempat ke Puunan/ di 3 Tangtu Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik. Serta 1 tempat di Baduy panamping
b. Menentukan waktu yaitu, hari tanggal dimulainya pengerjaan lading
Pada musyawarah tersebut masing-masing yang hadir memberikan saran, pendapat dan usulan-usulan sehingga hasil musyawarah dapat menyimpulkan dan keputusan ditentukan oleh Puun Cikeusik yakni tentang dimana tempat yang akan dijadikan Ladang/ Huma Serang dan waktu dimulainya garapan Ladang/ Huma.
Huma Serang adalah lading Kolektif yang dikerjakan secara gotong royong dan hasilnya disimpan di Lumbung padi Khusus yang dapat digunakan untuk selamatan upacara adat, menjamu tamu, membantu orang jompo, yatim piatu, bisa dipinjamkan tapi kalau sudah panen dikemudian hari harus mengembalikan. Pengerjaan Huma serang dikerjakan didahulukan , sebelum mengerjakan ladangnya masing-masing.
Pada penentuan dimulainya garapan lading/Huma pada musyawarah tersebut masing-masing peserta musyawarah memberikan pendapat sesuaai dengan pengalamannya supaya pada waktu panananman padi selalu berbarengan dengan datangnya musim hujan dan keadaannya selamat serta menghasilkan panen yang memuaskan .
Untuk menghitung supaya tepat pada saatnya muim hujan turun mereka pada malam hari sekitar jam 24.00 wib melihat posisi bintang kidang atau bintang waluku, apabila posisinya telah bergeser kesebelah Barat miring ke Selatan , kemudian tanda yang lain adanya pada tanah yang berlubang telah ditutup oleh serat kawa-kawa ( jaring laba-laba ), atau adanya lubang semut telah dilindungi oleh tanah yang tersusun rapih ( berbentuk lingkaran Tanggul ), maka itu semua merupakan tanda-tanda bahwa musim hujan akan segera datang atau hujan akan segera turun .
Selesai bergotong royongmengerjakan huma serang dan penanamannya di pimpin oleh Girang serat maka baru mengerjakan pekerjaan diladangnya masing-masing. Pada waktu penanaman padi di ladang/huma tradisi di Baduy diiringi oleh Angklung Buhun dengan tarian Seseroan dengan jumlah pemainnya sebanyak 12 orang yaitu antara lain: 2 orang penari (sero ), 2 orang pemegang bedug, 8 orang lagi memainkan angklung: Roel 1+11, Torolok, Engklok, Indung Leutik, Gimping, Dongdong, Ringkung dan angklung Indung.
Adapaun maksud dan makna daari angklung Buhun ini nada dan suaranya bagaikan suara katak yang bersahut-sahutan dalam situasi angin yang kencang dan suara hujan yang deras, dan sipenari sero/ lingsang menggambarkan liingsang yang sedang bergembira pada waktu hujan.
Jadi maksud adanya permainan Angklung Buhun :
1. Untuk memohon segera diturtunkannya hujan
2. Pemberitahuan kepada semua warga Baduy memulai penanaman padi di lading
Selanjutnya setelah mendengar adanya tanda-tanda tersebut di atas, maka secara serempak semua warga Baduy memulai pananaman padi diladangnya masing-masing dan tidak lupa dengan memasang isarat daun Pelah di tancapkan menurut adat maksudnya untuk sarat keselamatan tanaman padi.

Jumat, 11 September 2009

Sosial Budaya Suku Baduy

Suku Baduy adalah bukan suku terasing melainkan suatu suku yang mengasingkan diri dengan pola kehidupannya patuh terhadap hukum adat, hidup mandiri denga tidak mengharapkan yang sifatnya bantuan dari orang lain / orang luar, menutup diri dari pengaruh budaya yang akan masuk dari luar.
Adapun cara hidup mereka baik dengan sessama warga, bergotong royong, taat terhadap adat. Seia sekata dalam pandangan, berlindung terhadap Pusaka Karuhun dan amanat Leluhurnya sekalipun tidak tersurat tetapi tersirat dalam ingatan sehingga patuh dan taat terhadap peraturan hokum adat yang dipimpin oleh Kepala Adat ( Puun ).
Dalam kehidupan suku Baduy mengenal adanya suatu kekuatan alam yang dapat memberikan pengaruh kuat dan dapat membentuk suatu Watak dan Tabiat yang menurut mereka tergantung pada lingkungannya.
Menurut palsafah suku Baduy pergantian musim adalah mendatangkan dan meninggalkan untuk kesejahteraan manusia,hidup rukun saling member dan menerima dalam hal yang saling membutuhkan adalah merupakan pelengkap untuk menimbulkan rasa kedamaian karena kalau saling menciderai dan membinasakan akan mendatangkan bencana dan perpecahan.
Amanat leluhur yang menjelma jadi hokum adat mampu mengatur tatanan kehidupan untuk kesejahteraan dan tatanan yang senapas dengan lingkungannya sehingga warna hidup dan kehidupannya mempunyai keseragaman kata dan perbuatannya.
Sampai saat ini di Baduuy dalam cara membuat rumah masih dikerjakan dengan cara bergotong royong, adapun mendirikan rumahnya harus mengahadap Utara /Selatan dengan tanpa merubah bentuk tanah. Ini sesuai dengan palsafah mereka “ Jodo, pati, bagia Cilaka manusa mah teu ngaboga-boga” Artinya: jodo, mati, kebahagiaan dan celaka itu bukan kemauan manusia . kalau di artikannya adalah manusia hanya berencana dan berusaha adapun keputuhan hasil di tangan tuhan.
Tentang pengobatan apabila ada yang sakit untuk Baduy dalam nasih menggunakan ramuan-ramuan tradisional.

Kamis, 10 September 2009

Aasal Usul Suku Baduy

Menyimak cerita rakyat khususnya di wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak umumnya sewilayah Banten maka suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara berpakaian, penampilan serta sifatnyapun sangat berbeda

I. Berasal dari Kerajaan Pajajaran / Bogor

Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya adalah PRABU BRAMAIYA MAISATANDRAMAN dengan gelar PRABU SILIWANGI.

Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah SUNAN GUNUNG JATI dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua”

Artinya : jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan “

Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo ( Baduy Dalam )

dengan cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan ( baju sangsang ), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua ( tenunan sendiri ) sampai di atas lutut, dan sipat penampilannya jarang bicara ( seperlunya ) tapir amah, kuat terhadap Hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.

II. BERASAL DARI BANTEN GIRANG/ SERANG

Menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun setelah Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi di Banten Prabu Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya meninggalkan tahta di Banten memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai , maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya tempat ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan .

Keturunan ini yang kemudian menetap di kampung Cikeusik ( Baduy Dalam ) dengan Khas sama dengan di kampong Cikeusik yaitu : wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak bicara ( hanya seperlunya ), kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima bantuan orang lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih ( blacu ) atau dari tenunan serat daun Pelah, iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua ( diatas lutut ).

III. BERASAL DARI SUKU PENGAWINAN ( campuran )

Yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran suku-suku yang pada waktu itu ada yang berasal dari daerah Sumedang, priangan, Bogor, Cirebon juga dari Banten. Jadi kebanyakanmereka itu terdiri dari orang-orang yang melangggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam sehingga kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus menetap di kampong Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung Sobang dan kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di atas masih ada kesamaan cirikhas tersendiri. Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy Luar ) desa Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak dengan cirri-cirinya ; berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena merekan masih harus patuh dan taat terhadap Hukum adat.

Dari suku Baduy panamping pada tahun 1978 oleh pemerintah diadakan proyek PKMT ( pemukiman kembali masyarakat terasing ) yang lokasinya di kampung Margaluyu dan Cipangembar desa Leuwidamar kecamatan Leuwidamar dan terus dikembangkan oleh pemerintah proyek ini di kampung Kopo I dan II, kampung Sukamulya dan kampung Sukatani desa Jalupangmulya kecamatan Leuwidamar .

Suku Baduy panamping yang telah dimukimkan inilah yang disebut Baduy Muslim, dikarenakan golongan ini telah memeluk agama Islam, bahkan ada yang sudah melaksanakan rukun Islam yang ke 5 yaitu memunaikan ibadah Haji.

Kini sebutan bagi suku Baduy terdiri dari :

1. Suku Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu ( Kepuunan ) yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana.

2. Suku Baduy Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili di luar Tangtu yang menempati di 27 kampung di desa Kanekes yang masih terikatoleh Hukum adat dibawah pimpinan Puuun ( kepala adat ).

3. Suku Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran agama Islam dan prilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah tidak mengikuti Hukum adat.

Adapun sebutan siku Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Badui, yakni sebutan dari golongan/ kaum Islam yang maksudnya karena suku itu tidak mau mengikuti dan taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan disaudi Arabia golongan yang seperti itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk dan sulit di atur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Suku Baduy.